Senin, 12 Agustus 2013

Baghban
Pernahkah kita berfikir untuk membahagiakan ayah ibu?
Pernahkah kita merenung barangkali sikap, perkataan kita justu menyakiti mereka?
Malam takbiran 1 Syawal 1434H yang bertepatan 8 Agustus 2013 saya menghabiskan kesendirian di tanah rantau dengan menonton film Baghban (Peladang-bhs melayu). Film berdurasi sekitar 120 menit ini dibintangi Amithabachan. Film ini dimulai saat Ayah bekerja sebagai akuntan bank memutuskan pensiun di usianya yang 70 tahun.
Sebagaimana seorang ayah dan ibu merasa sebentar saja mendampingi anak karena disibukkan mencari nafkah demi kesuksesan keempat anak laki-laki mereka yang kini sudah berumah tangga dan memberi mereka dua orang cucu. Mereka ingin menghabiskan masa akhir hidup mereka dengan tinggal bersama secara bergilir di rumah anak-anak mereka. Wajarlah orang tua ingin tinggal bersama anak, apalagi merekalah yang membiayai hidup sehingga bisa mandiri.
Keputusan besar ini ternyata tidak diapreasiasi positif oleh keempat anak dan tiga menantu mereka. Berbagai alasan diutarakan tapi tidak bisa menolak secara langsung atas keberatan mereka untuk menampung ayah ibunya. Hingga akhirnya diambil keputusan yang bisa membatalkan keinginan ayah.
Betapa kecewa dan terkejut Ayah mendengar hasil rapat penentuan siapa yang pertama akan menampung mereka. Selama enam bulan, ayah di anak pertama dan ibu di anak kedua, enam bulan berikutnya bergilir ke anak ketiga dan keempat. Seorang Ibu tentu berprasangka baik atas anak-anaknya sehingga menerima dan membujuk Ayah untuk menyetujui keputusan ini.
Hari pertama di rumah anak, ternyata tidak seindah harapan mereka. Baik Ayah maupun Ibu mendapat perlakuan tidak sepatutnya seorang anak kepada orang tuanya. Apakah seorang harus izin memakai telepon anaknya untuk menelpon istri sekaligus ibu mereka. Anak yang begitu sibuk dengan kariernya apakah tidak ada waktu untuk mendengar perkataan, nasihat atau permintaan ayahnya? Apakah salah jika Ibu menyampaikan pendapat untuk melindungi cucunya dari pergaulan bebas?
Anak yang mereka besarkan penuh cinta kasih, bahkan seluruh hidupnya dibalas dengan sikap dan perasaan beban. Kehadiran meraka dianggap masalah baru. Menantu yang direstui dan dipercaya menjaga anak mereka juga memiliki perilaku buruk jua. Kesedihan karena dipisahkan dengan teman hidup dirasa bisa terobati dengan cinta kasih anak, namun justru air mata kesedihan menahan rindu dan perlakuan buruk. Siapakah yang salah? Jika semua nasib orang tua kesepian di masa akhir hidup mereka sedangkan mereka memiliki banyak anak, tentu tidak akan ada pasangan suami istri yang ingin memiliki anak.
Suatu hari, saat itu saya sedang membantu Ibu melayani pelanggan di kios buah dan sayur milik Ibu. Entah tema pembicaraan apa sehingga tetangga kios sebelah kanan berceletuk
“Orang tua kaya itu anak ikut menikmati kekayaan, tapi kalau anak yang kaya maka orang tua menjadi pembantu”
Subhanallah, Ibuku yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, menjawab dengan lantang
“Seperti apa dulu anaknya, kalau anak saya tidak seperti itu. Anak-anak saya semuanya sholeh dan sholehah yang tau memperlakukan orang tua”
Film Baghban menggambarkan sebuah realita yang ada di masyarakat. Terkadang di tempat yang diharapkan cinta ternyata tak didapat, namun diganti di tempat lain. Bahkan anak angkat yang tidak terlintas dalam pikiran, justru dialah yang memenuhi hak-haknya sebagai orang tua dan memperlakukan dengan baik dan tulus.
Film ini memberiku pelajaran berharga bahwa inilah pentingnya pondasi agama dalam dua hal yaitu dalam mendidik anak dan dalam memilih pasangan hidup. Anak-anak sholeh dan sholehah sangat mengerti bagaimana memperlakukan Ayah Ibu mereka. Mereka akan menjaga setiap sikap, perkataan, prasangka dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyakiti orang tua. Bahkan di Al Qur’an jangankan bersikap kasar, berkata lebih keras saja dilarang. Rasulullah juga pernah berwasiat kalau harta yang kita miliki adalah milik orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan mereka.
Hak-hak istimewa ini wajib diperoleh orang tua, karena dari merekalah kita hidup. Apa jadinya jika orang tua tidak mau membesarkan dan mendidik kita?
Saat pasangan suami istri dipercaya dengan amanah anak, merupakan kebahagiaan luar biasa. Apapun akan mereka lakukan untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai orang tua yaitu membesarkan dan mendidik dengan cinta kasih tanpa pamrih suatu hari nanti anak akan membalas pengorbanan mereka. Anak dididik berdasarkan pemahaman yang mereka miliki, sesuai dengan harapan-harapan dan doa yang tak kenal lelah dipanjatkan. Terkadang mereka menjadikan anak sebagai sosok pelaksana ambisi, ada juga yang membiarkan anak karena merasa tugas mendidik sudah dilimpahkan ke sekolah pilihan yang dibayar mahal. Ada juga orang tua yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh kehati-hatian.
“Hendaknya bapaknya memilih ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al qur’an kepadanya” demikianlah perkataan Umar bin Khattab ketika ditanya hak janin.
Seorang pria akan memilih wanita yang tepat sebagai ibu bagi anak-anaknya kelak, bersama wanita pilihannya inilah mereka akan mengajarkan al qur’an. Apa yang mereka lakukan semata-mata karena memenuhi kewajiban sebagai orang tua untuk mendidik anak menjadi orang yang sholeh dan sholehah.
Hanya anak sholeh dan sholehah saja yang bisa memperlakukan orang tua dengan baik, yang tidak tersinggung ketika orang tua mencela, yang menerima dengan lapang hati setiap pendapat. Memenuhi kebutuhannya tanpa diminta, selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita mereka yang berulang-ulang. Memperlakukan mereka dengan lembut, sabar dan penuh perhatian sebagaimana memperlakukan anak-anak.
Anak sholeh tidak akan melimpahkan ketidakmengertian orang tua dalam mendidik sebagai alibi kekurangan mereka. Kekurangan orang tua tidak menjadi penghalang menunaikan hak mereka, tidak menjadi bahan pembicaraan. Kehadirannya bukan sebagai masalah baru yang harus diselesaikan dengan target waktu tertentu. Orang tua bukan tamu yang harus mengikuti aturan tuan rumah, tetapi ia adalah tuan di atas tuan rumah. Baginya tak berbeda rumahnya sendiri dengan rumah anaknya.
Film Baghban mengajarkan pada kita betapa sepinya orang tua di masa pensiun mereka. Betapa inginnya mereka bersama dengan anak-anak dikasihi, tanpa harus terpisah dengan belahan jiwanya. Sebagai anak kita harus bisa memahami itu, dan meneruskan mimpi-mimpi mereka. Semoga kita menjadi penyejuk hati orang tua.
                                                                                                            Batam, 11 Agustus 2013
                                                                                                            Vidya Putria Rawas


Rabu, 31 Juli 2013

Tempat Persinggahan

Hari ini begitu panas dan gerah ditambah penilaian olahraga lari jarak jauh menyisakan kelelahan luar biasa. Lelah dan jenuh mengikuti penjelasan nasionalisme sukses menjadi lagu pengantar tidur siang penghuni kelas 2.4. Rasa kantukku semakin parah saat semilir angin menerobos jendela di samping kiriku.
Brak!!!!
Penggaris sepanjang satu meter sengaja dijatuhkan Pak Sukadi untuk mengusir setan kantuk. Kelas kamipun kembali fokus demi nasionalisme yang tidak mengena ke pejabat mengingat mereka menjual sumber daya alam ke asing. Daripada dicap murid kurang ajar karena tidur disaat guru menjelaskan, akhirnya kukeluarkan senjata ampuh pengusir kejenuhan mengikuti pelajaran di kelas. Yups buku kumpulan lagu yang kutulis dari berbagai sumber. Buku ini membuatku tetap segar karena bisa bersenandung dalam hati mengikuti bait-bait lagu sampai tak terasa bel pelajaran terakhir dibunyikan.
Anggun menarik tanganku seperti biasa kalau dia ingin cepat-cepat pulang. Setiap hari dia adalah teman menyenangkan bagiku melewati jalanan KH Agus Salim menuju Jalur utama Tegal-Purwokerto dimana bis Kurnia yang akan mengantarku pulang ke rumah. Dibanding naik bis kecil yang harus dua kali dan lebih mahal mana suka ngetem lagi di pasar Balapulang, aku lebih memilih bis Kurnia selain lebih murah juga lebih cepat. Kalau ingin menguras uang saku lagi, kami bisa naik angkutan kota dari depan sekolah. Rute pavorit kami dan para siswa yang rumahnya jauh adalah jalan ini, walau panas tapi bisa cuci mata melihat barang-barang bagus atau aroma kue yang enak maupun aroma harum dari pabrik teh, walau tidak jarang bau menyengat kami hirup dari tumpukan sampah di pasar yang kami lewati.
Anggun mengajakku ke salah satu gedung tempat operasional salah satu bank swasta. Kulihat beberapa orang sedang antri di depan teller, Kami duduk di pojok ruangan dekat dispenser. Kebetulan ada dua gelas kosong yang belum dipakai minum. Kami memencet tombol biru, jadilah segelas air dingin melewati kerongkongan mengusir rasa haus dan memberi kesegaran ditambah duduk di ruang kantor yang sejuk ini. Lima menit kemudian,
“Yuk kita pulang”
“Loh bukannya kamu harus ambil uang dari bapakmu”
“Kata siapa, aku cuma numpang lumayan kan memanfaatkan fasilitas umum”
Sambil mengedipkan mata dia berdiri menuju pintu keluar, Ya ampun cerdik juga dia. Di luar kami senyum-senyum sendiri mengingat semua orang menatap kami. Sejak itulah setiap kali kami kelelahan dan kehausan, kantor itu menjadi tempat persinggahan kami. Walau tidak harus minum gratis karena kehabisan gelas bersih, paling tidak bisa mengusir panasnya siang di kota Slawi.
Batam, 28 Juni 2013

Vidya Putria Rawas

Lima Menit Menjelang Pulang Sekolah


Ekonomi yang membahas hukum penawaran dan permintaan biasanya membuatku bersemangat mengikuti pelajaran terakhir, namun perasaanku gelisah memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan menimpaku begitu bel dibunyikan. Aku berharap waktu begitu lambat berjalan memberiku kesempatan menemukan jalan keluar dari masalah ini. Setiap kali kulirik Tomi, Topan, Erna maupun Nida mereka menatapku dengan penuh kemenangan dan senyum kebahagian. Belum lagi tangan mereka menggoyang-goyangkan kantong ajaib yang sejak jam istirahat menggusik ketenangan hidupku.
Hari yang paling menyebalkan bagiku adalah hari apapun yang jatuh pada enam November yang merupakan alarm peringatan umurku yang semakin bertambah. Walau seringnya berharap bertambah kebahagian namun seringkali apa yang kuinginkan tidak terpenuhi. Seperti hari ini yang mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu yang sama sekali tidak ingin kuulangi.
Setahun yang lalu, aku menjadi pusat pelampiasan emosi  penghuni kelas dua D. Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak dan melarikan diri, mereka mengelilingiku dengan berbagai sampah sengaja ditaburkan di sekujur badanku. Serbuk putih yang dikumpulkan dari papan tulis, serpihan kertas, dan sedikit pasir sukses membuatku menjadi pusat perhatian saat perjalanan pulang. Waktu itu kami dapat jatah masuk siang, dimana jam terakhir adalah jam setengah enam yang membuatku mengurungkan niat membersihkan diri di kamar mandi sekolah mengingat di sana tempat angker dan sudah sore mana sepi pula. Walau kemungkinan ini akan terjadi lagi di siang hari tapi aku tetap tidak sudi menjadi tempat pelampiasan mereka apalagi mereka sengaja menyisakan saus dan kecap bekas siomay menu istirahat mereka.
Ide ini kudapat detik terakhir menjelang pelajaran ditutup, secepat yang kubisa semua buku dan alat tulis kumasukan ke dalam tas dan melihat ke bawah barangkali tali sepatuku diikat ke meja dengan diam-diam oleh siapapun agar aku tidak lari. Akhirnya bel dibunyikan, saat doa akhir belajar dipanjatkan yang dipimpin Andri tak lupa teksnya kuganti “Ya Allah selamatkanlah 3X Aamiin”. Pada saat Pak Samsudin beranjak dari singgasananya, dengan mantap kudahului dan tak lupa kuberi senyuman termanis yang kumiliki ”Maaf Pa, saya duluan” yang disusul langkah cepat menuju pintu. Beliau hanya menatapku bingung, disusul suara dibelakangku “CURANG”. Kubalas tatapan kekecewaan mereka dengan langkah seribu menuju gerbang sekolah khawatir mereka menyusulku dan menyerangku. Akhirnya aku lolos dari lubang jarum ini.
Batam, 28 Juni 2013

Vidya Putria Rawas

Berharap Memeluk Bulan


Nasib penghuni siswa jenjang akhir adalah kejenuhan menyelesaikan latihan soal setiap hari di setiap mata pelajaran sebagai persiapan ujian akhir nasional. Seperti saat ini saat kami harus mengerjakan empat puluh soal bahasa Indonesia sebagai ganti Pak Agus yang absen mengajar. Baru setengah soal kukerjakaan rasa kantuk menyerangku dengan hebat. Kalau bukan karena harus dikumpulkan saat itu juga mungkin aku sudah tertidur. Namun rasa kantukku hilang seketika saat pendengaranku menangkap topik menarik dari Edi dan Arif yang duduk di samping kananku. Sepertinya nama yang jadi topik pembicaraan mereka tidak asing bagiku. Untuk memastikan kebenaran itu kusimak setiap pembicaraan mereka.

“Beneran Rif, dia itu cantik pake kerudung lagi”
“Siapa sih, aku ga pernah lihat kalau maen ke tempatmu”
“Dia itu anak pindahan”
“Namanya Mela sekolah di SMP Muhammadiyahkan?”
Edi menatapku dengan kesal
“Jangan sok tau deh”
Balas Arif dengan tidak kalah sengitnya
“Beneran, adikku sekelas dengannya. Anaknya pintar, cantik, kulitnya putih dan dia punya kembaran yang namanya Meli tapi beda warna kulit”
Edi melihatku dengan tatapan tidak percaya
“Nanti aku bilang lewat adikku kalau kau nitip salam buatnya”

Dua hari kemudian setelah kupastikan Dik Via mendapat jawaban. Saat itu Bu Warni sedang ke luar meninggalkan serangkaian soal biologi yang harus kami kerjaan.
“Edi, adikku sudah sukses ngasih salam ke Mela tuh”
“Ayo cerita mumpung Bu Warni belum kembali”
“Kata Adikku gini Mba Mela dapat salah dari Mas Edi, trus Mela jawab gini: Mas Edi itu siapa? Itu loh tetanggamu yang sekarang kelas 3 D SMP 1. Kaya apa orangnya? Kata Mba Vie anaknya kurus kecil dan rambutnya lurus” Sepertinya Mela lagi inget-inget kamu Ed, makanya rada lama baru dia bilang “Ga kenal tuh”
Arif, Mega dan Topan yang kebetulan duduk di dekatnya spontan tertawa terbahak-bahak. Kulihat mukanya merah, padahal sungguh tak ada niat membuatnya malu. Aku hanya menceritakan kembali jawaban adikku tanpa ada tambahan sedikitpun apalagi jawaban itu kedapat kemarin sore.
“Makanya Edi, kalau naksir sama gadis minimal dia kenal kamu”
Hibur Arif sembari menepuk pundak teman sebangkunya itu
“Aku ga bohong loh”
Bener juga sih kalau kita naksir sama orang minimal dia tau kita itu. Lebih baik bertepuk sebelah tangan daripada seperti pepatah Ibarat punuk berharap memeluk sang bulan.

Batam, 28 Juni 2013
Vidya Putria Rawas


Kupu-Kupu Kertas

Wahai Remaja Muslim, Kalian bukan Kupu-Kupu Kertas

Remaja adalah generasi harapan negara, apalah jadinya jika remaja menjadi sosok yang rapuh, mudah terbawa arus dan tidak memiliki visi misi hidup yang jelas dan benar. Arus globalisasi menyeret remaja menjadi individu egois dan hanya berorientasi kesenangan jasmani. Tawuran sebagai ajang pembuktian kehebatan yang salah kerap kali menjadi pelampiasan emosi hanya karena hal sepele. Pornografi menggiring remaja rapuh untuk melampiaskan nafsu seksual mereka dengan cara yang salah seperti freeseks bahkan sampai dijadikan peluang bisnis yang beromzet ratusan juta dengan pelaku pelajar. Seperti inikah generasi yang kita harapkan?

Selain tawuran dan prostitusi, remaja juga dijangkiti penyakit egois parah. Di tengah ketidakmampuan pelajar lain  membayar uang sekolah, dengan bangga mereka membuang minimal ratusan ribu hingga jutaan rupiah dalam semalam. Konser Justin Bieber, Katty Pery maupun Super Junior membuktikan betapa ketenaran mereka mampu mengusir sikap peduli dan empati. Ini dilakukan hanya sebagai ajang status di dunia maya maupun pengokohan label gaul di dunia nyata. Kebanggaan yang luar biasa manakala memiliki tiket dan bisa berfoto dengan artis panutan, minimal memotret aksi panggung mereka. Kebanggaan ini merurut mereka sebanding dengan usaha mereka dalam menyisihkan jatah bulanan untuk ditukar dengan selembar tiket.

Kupu-kupu kertas merupakan gambaran remaja yang cantik penuh warna namun rapuh. Sebagai remaja muslim haruskan mengikuti arus menjadi kupu-kupu kertas? Siapa saja yang berusia balig maka pembebanan hukum syara sudah melekat padanya baik itu remaja yang seringkali dimaklumi untuk berbuat salah. Lalu, bagaimana dengan gambaran remaja ideal?

Remaja ideal adalah remaja cerdas karena Islam. Islam  tidak sekedar menuntunnya dalam sholat atau puasa ramadhan tetapi juga dijadikan panduan dalam berfikir, bersikap dan berpendapat. Islam yang mereka yakini mampu menjadikannya setegar karang dalam menghadapi gempuran westernisasi yang merusak namun bisa selembut sutera dalam memperlakukan kedua orang tuanya. Mereka tidak hanya berprestasi di sekolah tetapi memiliki kepribadian islam yang kuat, minimal bukan trouble maker di sekolahnya. Merekalah panutan sejati bagi teman-temannya dan harapan bagi orang tua. Bagaimana mewujudkannya?

Mewujudkan remaja yang cerdas bisa dimulai dari usaha untuk memahami  agama, dengan mengikuti kajian Islam rutin. Mengapa hal ini penting? Pemahaman agama yang benar akan menjadi panduan remaja dalam bersikap dan sebagai benteng menyaring serangan budaya asing yang merusak.  Pemahaman yang benar menjadikan remaja memiliki visi hidupnya yang jelas sehingga bisa memaksimalkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Prinsip materi menjadi faktor kuat orang tua dan pelajar rela menghabiskan uang dan waktunya untuk mengikuti les daripada kajian islam yang lebih bermanfaat sudah begitu gratis lagi.

Usaha kedua yaitu memaksimalkan potensi dan berani mengikuti ajang bakat. Sekarang ini berbagai lomba diadakan untuk remaja  seperti lomba menulis, berpidato, karya ilmiah, olimpiade sains, dan lainnya. Ajang bakat memang tumbuh subur di negri ini hanya saja lebih mengutamakan ajang bakat seni karena dianggap lebih cepat mendatangkan kekayaan dan banyak didukung swasta yang bergerak di bisnis tersebut. Adapun ajang lain dinomorduakan baik dari fasilitas maupun bentuk penghargaannya.

Kedua hal di atas penting, remaja adalah potret pengisi masa depan sebuah generasi terutama remaja islam. Apa yang bisa diharapkan dari Islam jika remaja yang mereka miliki lebih tertarik dengan budaya barat atau budaya korea? Waktu yang dimiliki dihabiskan untuk melahap dan memahami drama korea atau film Hollywood. Hasilnya secara fisik mereka dewasa tetapi tidak mandiri dan tidak memiliki visi hidup yang jelas. Seandainya hidup adalah perumpamaan maka pilihlah hidup seperti lebah, bukan kupu-kupu yang indah sesaat apalagi kupu-kupu kertas. Wallahu’alam
                                                                                                            Batam, 22 Juni 2013
                                                                                                            Vidya Putria Rawas






Minggu, 26 Februari 2012

Muslimah Berkarier

Bekerja mubah hukumnya bagi muslimah. Ketika muslimah beraktivitas di luar rumah, maka ia harus tunduk pada aturan Islam antara lain:
a.      Mendapat izin dari walinya baik suami, ayah maupun mahramnya.
b. Berpakaian sesuai aturan Allah yaitu dengan memakai jilbab ("Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" TQS. al-Ahzab [33]: 59) dan kerudung (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. TQS. an-Nur [24]: 31)
c.       Menjauhi khalwat (berdua-duaan dengan lelaki non-mahram), ikhtilat (campur baur dengan lawan jenis) dan tidak memperlembut tutur kata ketika berbicara serta menundukkan pandangan dan berjalan sewajarnya.
d.  Perjalanan yang membutuhkan jarak dan waktu yang lama, wanita harus didampingi mahramnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali bersama ayahnya, atau suaminya, atau anak laki-lakinya, atau saudara laki-lakinya atau mahramnya. (HR Muslim)”

Menurut Adnan (2010) ketika seorang wanita memilih untuk bekerja, maka ia harus memperhatikan kaedah fiqih tentang pekerjaan mana yang boleh dan mana yang dijauhi. Pertama, pekerjaan yang haram bagi muslimah yaitu pekerjaan  di bidang kepemimpinan umat. Seperti kepala negara, pemegang kekuasaan kehakiman. Bidang militer seperti pemimpin jihad, polisi lalu lintas, satpam. Bagian transportasi seperti pramugari, pilot, dan supir. Selain itu menjalani profesi sebagai penyanyi yang menyanyi di depan laki-laki bukan mahram.
Kedua, pekerjaan yang boleh dilakukan seperti dokter, perawat, laboratorium, pemilik perusahaan, guru, pertekstilan, pertanian, perniagaan, peternakan, dan salon. Untuk bidang kecantikan, harus sesuai dengan hukum syara seperti tidak menyambung rambut, mentato, mengikir, mencabut alis. Tidak melihat aurat, tidak menceritakan kecantikan seseorang ke laki-laki asing dan tidak memakai alat atau bahan kosmetik yang berbahaya dan haram.
Ketiga, pekerjaan yang menjadikan bentuk fisiknya  dan kecantikannya sebagai asset seperti pramugari, artis, model dan sebagainya. Pekerjaan ini haram dikerjakan bagi muslimah.
Islam memuliakan wanita, ia tidak dibebani untuk  mencari nafkah. selama hidupnya, nafkah mereka ditanggung oleh ayah, saudara laki-laki, suami, dan anak laki-laki mereka. itulah mengapa bekerja mubah hukumnya. saat  muslimah memutuskan untuk bekerja, pilihlah pekerjaan yang tidak melalaikan kewajiban utama mereka yaitu sebagai pendidik anak-anaknya.  senangnya berbagi.
by 
Vidya Putria Rawwas

Muslimah Berkualitas

Wajah cantik, tubuh langsing, kulit putih, ditunjang penampilan modis dan tutur kata lembut seringkali dipandang sebagai wanita berkepribadian tinggi. Ajang kontes kecantikan mulai dari lokal sampai internasional pun diadakan untuk memilih wanita dengan kategori ini. Standar penilaiannya  tiga B yaitu beauty, brain dan behavior. Namun, benarkah itu pula yang menjadi standar baku kepribadiaan wanita muslim (muslimah)?
Landasan yang menjadi tolok ukur kepribadian seseorang, bukanlah ditentukan kecantikan wajahnya maupun penampakan fisik lainnya, tetapi dilihat dari pemikiran dan perilakunya. Ukurannya adalah sejauh mana ketaatannya sebagai seorang hamba kepada Sang Khaliq, serta kuantitas dan kualitas amal perbuatannya dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya semata-mata untuk meraih keridlaan-Nya. Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (TQS. al-Ahzab [33]: 35)

Muslimah semestinya mengukur kepribadiannya atas dasar ketakwaannya kepada Allah Swt. Sebab, dengan ketakwaan inilah Sang Khaliq menilai umat manusia, dan dengan ukuran ini pula Dia meninggikan derajat seorang manusia dari manusia lainnya. Allah Swt berfirman dalam surat al-Hujurat:
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (TQS. al-Hujurat [49]: 13)

Kepribadian yang mulia inilah yang akan melahirkan perbuatan yang mulia pula. Sebagai seorang muslimah hendaknya memahami bahwa tolak ukur perbuatan manusia adalah perintah dan larangan Allah. Oleh karena itu, muslimah harus memahami hukum syara perbuatan tertentu sebelum dikerjakan. Karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatan di akhirat. Rasulullah telah bersabda yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia dihabiskan; tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan letihnya-untuk apa ia gunakan”

Dengan demikian, sebelum kita melakukan suatu perbuatan, kita harus mengetahui status hukumnya. Apakah perbuatan tersebut hukumnya wajib atau haram sehingga kita dahulukan pengerjaannya maupun meninggalkannya. Sunnah yang menjadi pilihan kedua setelah kewajiban tertunaikan, dan mubah yang menjadi pilihan kita untuk melakukannya berdasar manfaat apa yang  bisa kita dapatkan. Atau makruh yang sebaiknya kita hindari. Semuanya bisa kita peroleh dengan menyediakan waktu, pikiran, harta maupun tenaga yang kita miliki untuk menuntut ilmu. Rasulullah telah bersabda bahwa:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”(HR Ibnu Majah)
Selain itu,
Ummul mukminin ‘Aisyah ra pernah berkata “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama”

Ilmu yang kita milikipun tdak semata menjadi milik kita. Ilmu harus kita bagi, sehingga ilmu kita bermanfaat. Tahukan kita bahwa ada pahala yang senantiasa mengalir terus menerus? Ya dengan menyampaikan ilmu yang kita miliki, kita bisa meraih pahala tersebut. Bayangkan jika kita berhasil mengubah seseorang yang tadinya tidak mau sholat lalu menjadi rajin bahkan lebih rajin dari kita lalu ia menyampaikan ke temannya dan seterusnya. Setiap kali mereka sholat, Insya Allah kita mendapat pahalanya juga, Rasulullah bersabda,
Barang siapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun…(HR Muslim)

Muslimah berkepribadian mulia adalah individu yang menggunakan Islam sebagai acuannya dalam berpikir, berkata dan bertindak. Sehingga ia tidak membabi buta meniru dan mengikuti segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bukan pula seorang yang terbelenggu dengan perasaan rendah diri akibat penampilannya; tetapi sebaliknya, seorang muslimah adalah seorang yang penuh percaya diri karena islam sebagai keyakinannya. Ia bukan seorang wanita yang asyik dengan citra dirinya, penampilan fisiknya, atau kehidupan pribadinya. Semua ini akan menjadikan muslimah menjadi sosok dengan kepribadian yang mulia.