Baghban
Pernahkah kita berfikir untuk
membahagiakan ayah ibu?
Pernahkah kita merenung
barangkali sikap, perkataan kita justu menyakiti mereka?
Malam takbiran 1 Syawal 1434H
yang bertepatan 8 Agustus 2013 saya menghabiskan kesendirian di tanah rantau
dengan menonton film Baghban (Peladang-bhs melayu). Film berdurasi sekitar 120 menit
ini dibintangi Amithabachan. Film ini dimulai saat Ayah bekerja sebagai akuntan
bank memutuskan pensiun di usianya yang 70 tahun.
Sebagaimana seorang ayah dan
ibu merasa sebentar saja mendampingi anak karena disibukkan mencari nafkah demi
kesuksesan keempat anak laki-laki mereka yang kini sudah berumah tangga dan
memberi mereka dua orang cucu. Mereka ingin menghabiskan masa akhir hidup
mereka dengan tinggal bersama secara bergilir di rumah anak-anak mereka.
Wajarlah orang tua ingin tinggal bersama anak, apalagi merekalah yang membiayai
hidup sehingga bisa mandiri.
Keputusan besar ini ternyata
tidak diapreasiasi positif oleh keempat anak dan tiga menantu mereka. Berbagai
alasan diutarakan tapi tidak bisa menolak secara langsung atas keberatan mereka
untuk menampung ayah ibunya. Hingga akhirnya diambil keputusan yang bisa
membatalkan keinginan ayah.
Betapa kecewa dan terkejut
Ayah mendengar hasil rapat penentuan siapa yang pertama akan menampung mereka.
Selama enam bulan, ayah di anak pertama dan ibu di anak kedua, enam bulan
berikutnya bergilir ke anak ketiga dan keempat. Seorang Ibu tentu berprasangka
baik atas anak-anaknya sehingga menerima dan membujuk Ayah untuk menyetujui
keputusan ini.
Hari pertama di rumah anak,
ternyata tidak seindah harapan mereka. Baik Ayah maupun Ibu mendapat perlakuan
tidak sepatutnya seorang anak kepada orang tuanya. Apakah seorang harus izin
memakai telepon anaknya untuk menelpon istri sekaligus ibu mereka. Anak yang
begitu sibuk dengan kariernya apakah tidak ada waktu untuk mendengar perkataan,
nasihat atau permintaan ayahnya? Apakah salah jika Ibu menyampaikan pendapat
untuk melindungi cucunya dari pergaulan bebas?
Anak yang mereka besarkan
penuh cinta kasih, bahkan seluruh hidupnya dibalas dengan sikap dan perasaan
beban. Kehadiran meraka dianggap masalah baru. Menantu yang direstui dan dipercaya
menjaga anak mereka juga memiliki perilaku buruk jua. Kesedihan karena
dipisahkan dengan teman hidup dirasa bisa terobati dengan cinta kasih anak, namun
justru air mata kesedihan menahan rindu dan perlakuan buruk. Siapakah yang
salah? Jika semua nasib orang tua kesepian di masa akhir hidup mereka sedangkan
mereka memiliki banyak anak, tentu tidak akan ada pasangan suami istri yang
ingin memiliki anak.
Suatu hari, saat itu saya
sedang membantu Ibu melayani pelanggan di kios buah dan sayur milik Ibu. Entah
tema pembicaraan apa sehingga tetangga kios sebelah kanan berceletuk
“Orang tua kaya itu anak ikut
menikmati kekayaan, tapi kalau anak yang kaya maka orang tua menjadi pembantu”
Subhanallah, Ibuku yang tidak
pernah mengenyam pendidikan formal, menjawab dengan lantang
“Seperti apa dulu anaknya,
kalau anak saya tidak seperti itu. Anak-anak saya semuanya sholeh dan sholehah
yang tau memperlakukan orang tua”
Film Baghban menggambarkan
sebuah realita yang ada di masyarakat. Terkadang di tempat yang diharapkan
cinta ternyata tak didapat, namun diganti di tempat lain. Bahkan anak angkat
yang tidak terlintas dalam pikiran, justru dialah yang memenuhi hak-haknya
sebagai orang tua dan memperlakukan dengan baik dan tulus.
Film ini memberiku pelajaran
berharga bahwa inilah pentingnya pondasi agama dalam dua hal yaitu dalam
mendidik anak dan dalam memilih pasangan hidup. Anak-anak sholeh dan sholehah
sangat mengerti bagaimana memperlakukan Ayah Ibu mereka. Mereka akan menjaga
setiap sikap, perkataan, prasangka dengan penuh kehati-hatian agar tidak
menyakiti orang tua. Bahkan di Al Qur’an jangankan bersikap kasar, berkata
lebih keras saja dilarang. Rasulullah juga pernah berwasiat kalau harta yang
kita miliki adalah milik orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan
mereka.
Hak-hak istimewa ini wajib
diperoleh orang tua, karena dari merekalah kita hidup. Apa jadinya jika orang
tua tidak mau membesarkan dan mendidik kita?
Saat pasangan suami istri
dipercaya dengan amanah anak, merupakan kebahagiaan luar biasa. Apapun akan
mereka lakukan untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai orang tua yaitu
membesarkan dan mendidik dengan cinta kasih tanpa pamrih suatu hari nanti anak
akan membalas pengorbanan mereka. Anak dididik berdasarkan pemahaman yang
mereka miliki, sesuai dengan harapan-harapan dan doa yang tak kenal lelah
dipanjatkan. Terkadang mereka menjadikan anak sebagai sosok pelaksana ambisi,
ada juga yang membiarkan anak karena merasa tugas mendidik sudah dilimpahkan ke
sekolah pilihan yang dibayar mahal. Ada juga orang tua yang melaksanakan
kewajibannya dengan penuh kehati-hatian.
“Hendaknya bapaknya memilih
ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al qur’an kepadanya”
demikianlah perkataan Umar bin Khattab ketika ditanya hak janin.
Seorang pria akan memilih
wanita yang tepat sebagai ibu bagi anak-anaknya kelak, bersama wanita
pilihannya inilah mereka akan mengajarkan al qur’an. Apa yang mereka lakukan
semata-mata karena memenuhi kewajiban sebagai orang tua untuk mendidik anak
menjadi orang yang sholeh dan sholehah.
Hanya anak sholeh dan sholehah
saja yang bisa memperlakukan orang tua dengan baik, yang tidak tersinggung
ketika orang tua mencela, yang menerima dengan lapang hati setiap pendapat.
Memenuhi kebutuhannya tanpa diminta, selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan
cerita mereka yang berulang-ulang. Memperlakukan mereka dengan lembut, sabar
dan penuh perhatian sebagaimana memperlakukan anak-anak.
Anak sholeh tidak akan
melimpahkan ketidakmengertian orang tua dalam mendidik sebagai alibi kekurangan
mereka. Kekurangan orang tua tidak menjadi penghalang menunaikan hak mereka,
tidak menjadi bahan pembicaraan. Kehadirannya bukan sebagai masalah baru yang
harus diselesaikan dengan target waktu tertentu. Orang tua bukan tamu yang
harus mengikuti aturan tuan rumah, tetapi ia adalah tuan di atas tuan rumah.
Baginya tak berbeda rumahnya sendiri dengan rumah anaknya.
Film Baghban mengajarkan pada
kita betapa sepinya orang tua di masa pensiun mereka. Betapa inginnya mereka bersama
dengan anak-anak dikasihi, tanpa harus terpisah dengan belahan jiwanya. Sebagai
anak kita harus bisa memahami itu, dan meneruskan mimpi-mimpi mereka. Semoga
kita menjadi penyejuk hati orang tua.
Batam,
11 Agustus 2013
Vidya
Putria Rawas