Rabu, 31 Juli 2013

Tempat Persinggahan

Hari ini begitu panas dan gerah ditambah penilaian olahraga lari jarak jauh menyisakan kelelahan luar biasa. Lelah dan jenuh mengikuti penjelasan nasionalisme sukses menjadi lagu pengantar tidur siang penghuni kelas 2.4. Rasa kantukku semakin parah saat semilir angin menerobos jendela di samping kiriku.
Brak!!!!
Penggaris sepanjang satu meter sengaja dijatuhkan Pak Sukadi untuk mengusir setan kantuk. Kelas kamipun kembali fokus demi nasionalisme yang tidak mengena ke pejabat mengingat mereka menjual sumber daya alam ke asing. Daripada dicap murid kurang ajar karena tidur disaat guru menjelaskan, akhirnya kukeluarkan senjata ampuh pengusir kejenuhan mengikuti pelajaran di kelas. Yups buku kumpulan lagu yang kutulis dari berbagai sumber. Buku ini membuatku tetap segar karena bisa bersenandung dalam hati mengikuti bait-bait lagu sampai tak terasa bel pelajaran terakhir dibunyikan.
Anggun menarik tanganku seperti biasa kalau dia ingin cepat-cepat pulang. Setiap hari dia adalah teman menyenangkan bagiku melewati jalanan KH Agus Salim menuju Jalur utama Tegal-Purwokerto dimana bis Kurnia yang akan mengantarku pulang ke rumah. Dibanding naik bis kecil yang harus dua kali dan lebih mahal mana suka ngetem lagi di pasar Balapulang, aku lebih memilih bis Kurnia selain lebih murah juga lebih cepat. Kalau ingin menguras uang saku lagi, kami bisa naik angkutan kota dari depan sekolah. Rute pavorit kami dan para siswa yang rumahnya jauh adalah jalan ini, walau panas tapi bisa cuci mata melihat barang-barang bagus atau aroma kue yang enak maupun aroma harum dari pabrik teh, walau tidak jarang bau menyengat kami hirup dari tumpukan sampah di pasar yang kami lewati.
Anggun mengajakku ke salah satu gedung tempat operasional salah satu bank swasta. Kulihat beberapa orang sedang antri di depan teller, Kami duduk di pojok ruangan dekat dispenser. Kebetulan ada dua gelas kosong yang belum dipakai minum. Kami memencet tombol biru, jadilah segelas air dingin melewati kerongkongan mengusir rasa haus dan memberi kesegaran ditambah duduk di ruang kantor yang sejuk ini. Lima menit kemudian,
“Yuk kita pulang”
“Loh bukannya kamu harus ambil uang dari bapakmu”
“Kata siapa, aku cuma numpang lumayan kan memanfaatkan fasilitas umum”
Sambil mengedipkan mata dia berdiri menuju pintu keluar, Ya ampun cerdik juga dia. Di luar kami senyum-senyum sendiri mengingat semua orang menatap kami. Sejak itulah setiap kali kami kelelahan dan kehausan, kantor itu menjadi tempat persinggahan kami. Walau tidak harus minum gratis karena kehabisan gelas bersih, paling tidak bisa mengusir panasnya siang di kota Slawi.
Batam, 28 Juni 2013

Vidya Putria Rawas

Lima Menit Menjelang Pulang Sekolah


Ekonomi yang membahas hukum penawaran dan permintaan biasanya membuatku bersemangat mengikuti pelajaran terakhir, namun perasaanku gelisah memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan menimpaku begitu bel dibunyikan. Aku berharap waktu begitu lambat berjalan memberiku kesempatan menemukan jalan keluar dari masalah ini. Setiap kali kulirik Tomi, Topan, Erna maupun Nida mereka menatapku dengan penuh kemenangan dan senyum kebahagian. Belum lagi tangan mereka menggoyang-goyangkan kantong ajaib yang sejak jam istirahat menggusik ketenangan hidupku.
Hari yang paling menyebalkan bagiku adalah hari apapun yang jatuh pada enam November yang merupakan alarm peringatan umurku yang semakin bertambah. Walau seringnya berharap bertambah kebahagian namun seringkali apa yang kuinginkan tidak terpenuhi. Seperti hari ini yang mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu yang sama sekali tidak ingin kuulangi.
Setahun yang lalu, aku menjadi pusat pelampiasan emosi  penghuni kelas dua D. Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak dan melarikan diri, mereka mengelilingiku dengan berbagai sampah sengaja ditaburkan di sekujur badanku. Serbuk putih yang dikumpulkan dari papan tulis, serpihan kertas, dan sedikit pasir sukses membuatku menjadi pusat perhatian saat perjalanan pulang. Waktu itu kami dapat jatah masuk siang, dimana jam terakhir adalah jam setengah enam yang membuatku mengurungkan niat membersihkan diri di kamar mandi sekolah mengingat di sana tempat angker dan sudah sore mana sepi pula. Walau kemungkinan ini akan terjadi lagi di siang hari tapi aku tetap tidak sudi menjadi tempat pelampiasan mereka apalagi mereka sengaja menyisakan saus dan kecap bekas siomay menu istirahat mereka.
Ide ini kudapat detik terakhir menjelang pelajaran ditutup, secepat yang kubisa semua buku dan alat tulis kumasukan ke dalam tas dan melihat ke bawah barangkali tali sepatuku diikat ke meja dengan diam-diam oleh siapapun agar aku tidak lari. Akhirnya bel dibunyikan, saat doa akhir belajar dipanjatkan yang dipimpin Andri tak lupa teksnya kuganti “Ya Allah selamatkanlah 3X Aamiin”. Pada saat Pak Samsudin beranjak dari singgasananya, dengan mantap kudahului dan tak lupa kuberi senyuman termanis yang kumiliki ”Maaf Pa, saya duluan” yang disusul langkah cepat menuju pintu. Beliau hanya menatapku bingung, disusul suara dibelakangku “CURANG”. Kubalas tatapan kekecewaan mereka dengan langkah seribu menuju gerbang sekolah khawatir mereka menyusulku dan menyerangku. Akhirnya aku lolos dari lubang jarum ini.
Batam, 28 Juni 2013

Vidya Putria Rawas

Berharap Memeluk Bulan


Nasib penghuni siswa jenjang akhir adalah kejenuhan menyelesaikan latihan soal setiap hari di setiap mata pelajaran sebagai persiapan ujian akhir nasional. Seperti saat ini saat kami harus mengerjakan empat puluh soal bahasa Indonesia sebagai ganti Pak Agus yang absen mengajar. Baru setengah soal kukerjakaan rasa kantuk menyerangku dengan hebat. Kalau bukan karena harus dikumpulkan saat itu juga mungkin aku sudah tertidur. Namun rasa kantukku hilang seketika saat pendengaranku menangkap topik menarik dari Edi dan Arif yang duduk di samping kananku. Sepertinya nama yang jadi topik pembicaraan mereka tidak asing bagiku. Untuk memastikan kebenaran itu kusimak setiap pembicaraan mereka.

“Beneran Rif, dia itu cantik pake kerudung lagi”
“Siapa sih, aku ga pernah lihat kalau maen ke tempatmu”
“Dia itu anak pindahan”
“Namanya Mela sekolah di SMP Muhammadiyahkan?”
Edi menatapku dengan kesal
“Jangan sok tau deh”
Balas Arif dengan tidak kalah sengitnya
“Beneran, adikku sekelas dengannya. Anaknya pintar, cantik, kulitnya putih dan dia punya kembaran yang namanya Meli tapi beda warna kulit”
Edi melihatku dengan tatapan tidak percaya
“Nanti aku bilang lewat adikku kalau kau nitip salam buatnya”

Dua hari kemudian setelah kupastikan Dik Via mendapat jawaban. Saat itu Bu Warni sedang ke luar meninggalkan serangkaian soal biologi yang harus kami kerjaan.
“Edi, adikku sudah sukses ngasih salam ke Mela tuh”
“Ayo cerita mumpung Bu Warni belum kembali”
“Kata Adikku gini Mba Mela dapat salah dari Mas Edi, trus Mela jawab gini: Mas Edi itu siapa? Itu loh tetanggamu yang sekarang kelas 3 D SMP 1. Kaya apa orangnya? Kata Mba Vie anaknya kurus kecil dan rambutnya lurus” Sepertinya Mela lagi inget-inget kamu Ed, makanya rada lama baru dia bilang “Ga kenal tuh”
Arif, Mega dan Topan yang kebetulan duduk di dekatnya spontan tertawa terbahak-bahak. Kulihat mukanya merah, padahal sungguh tak ada niat membuatnya malu. Aku hanya menceritakan kembali jawaban adikku tanpa ada tambahan sedikitpun apalagi jawaban itu kedapat kemarin sore.
“Makanya Edi, kalau naksir sama gadis minimal dia kenal kamu”
Hibur Arif sembari menepuk pundak teman sebangkunya itu
“Aku ga bohong loh”
Bener juga sih kalau kita naksir sama orang minimal dia tau kita itu. Lebih baik bertepuk sebelah tangan daripada seperti pepatah Ibarat punuk berharap memeluk sang bulan.

Batam, 28 Juni 2013
Vidya Putria Rawas


Kupu-Kupu Kertas

Wahai Remaja Muslim, Kalian bukan Kupu-Kupu Kertas

Remaja adalah generasi harapan negara, apalah jadinya jika remaja menjadi sosok yang rapuh, mudah terbawa arus dan tidak memiliki visi misi hidup yang jelas dan benar. Arus globalisasi menyeret remaja menjadi individu egois dan hanya berorientasi kesenangan jasmani. Tawuran sebagai ajang pembuktian kehebatan yang salah kerap kali menjadi pelampiasan emosi hanya karena hal sepele. Pornografi menggiring remaja rapuh untuk melampiaskan nafsu seksual mereka dengan cara yang salah seperti freeseks bahkan sampai dijadikan peluang bisnis yang beromzet ratusan juta dengan pelaku pelajar. Seperti inikah generasi yang kita harapkan?

Selain tawuran dan prostitusi, remaja juga dijangkiti penyakit egois parah. Di tengah ketidakmampuan pelajar lain  membayar uang sekolah, dengan bangga mereka membuang minimal ratusan ribu hingga jutaan rupiah dalam semalam. Konser Justin Bieber, Katty Pery maupun Super Junior membuktikan betapa ketenaran mereka mampu mengusir sikap peduli dan empati. Ini dilakukan hanya sebagai ajang status di dunia maya maupun pengokohan label gaul di dunia nyata. Kebanggaan yang luar biasa manakala memiliki tiket dan bisa berfoto dengan artis panutan, minimal memotret aksi panggung mereka. Kebanggaan ini merurut mereka sebanding dengan usaha mereka dalam menyisihkan jatah bulanan untuk ditukar dengan selembar tiket.

Kupu-kupu kertas merupakan gambaran remaja yang cantik penuh warna namun rapuh. Sebagai remaja muslim haruskan mengikuti arus menjadi kupu-kupu kertas? Siapa saja yang berusia balig maka pembebanan hukum syara sudah melekat padanya baik itu remaja yang seringkali dimaklumi untuk berbuat salah. Lalu, bagaimana dengan gambaran remaja ideal?

Remaja ideal adalah remaja cerdas karena Islam. Islam  tidak sekedar menuntunnya dalam sholat atau puasa ramadhan tetapi juga dijadikan panduan dalam berfikir, bersikap dan berpendapat. Islam yang mereka yakini mampu menjadikannya setegar karang dalam menghadapi gempuran westernisasi yang merusak namun bisa selembut sutera dalam memperlakukan kedua orang tuanya. Mereka tidak hanya berprestasi di sekolah tetapi memiliki kepribadian islam yang kuat, minimal bukan trouble maker di sekolahnya. Merekalah panutan sejati bagi teman-temannya dan harapan bagi orang tua. Bagaimana mewujudkannya?

Mewujudkan remaja yang cerdas bisa dimulai dari usaha untuk memahami  agama, dengan mengikuti kajian Islam rutin. Mengapa hal ini penting? Pemahaman agama yang benar akan menjadi panduan remaja dalam bersikap dan sebagai benteng menyaring serangan budaya asing yang merusak.  Pemahaman yang benar menjadikan remaja memiliki visi hidupnya yang jelas sehingga bisa memaksimalkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Prinsip materi menjadi faktor kuat orang tua dan pelajar rela menghabiskan uang dan waktunya untuk mengikuti les daripada kajian islam yang lebih bermanfaat sudah begitu gratis lagi.

Usaha kedua yaitu memaksimalkan potensi dan berani mengikuti ajang bakat. Sekarang ini berbagai lomba diadakan untuk remaja  seperti lomba menulis, berpidato, karya ilmiah, olimpiade sains, dan lainnya. Ajang bakat memang tumbuh subur di negri ini hanya saja lebih mengutamakan ajang bakat seni karena dianggap lebih cepat mendatangkan kekayaan dan banyak didukung swasta yang bergerak di bisnis tersebut. Adapun ajang lain dinomorduakan baik dari fasilitas maupun bentuk penghargaannya.

Kedua hal di atas penting, remaja adalah potret pengisi masa depan sebuah generasi terutama remaja islam. Apa yang bisa diharapkan dari Islam jika remaja yang mereka miliki lebih tertarik dengan budaya barat atau budaya korea? Waktu yang dimiliki dihabiskan untuk melahap dan memahami drama korea atau film Hollywood. Hasilnya secara fisik mereka dewasa tetapi tidak mandiri dan tidak memiliki visi hidup yang jelas. Seandainya hidup adalah perumpamaan maka pilihlah hidup seperti lebah, bukan kupu-kupu yang indah sesaat apalagi kupu-kupu kertas. Wallahu’alam
                                                                                                            Batam, 22 Juni 2013
                                                                                                            Vidya Putria Rawas