Senin, 12 Agustus 2013

Baghban
Pernahkah kita berfikir untuk membahagiakan ayah ibu?
Pernahkah kita merenung barangkali sikap, perkataan kita justu menyakiti mereka?
Malam takbiran 1 Syawal 1434H yang bertepatan 8 Agustus 2013 saya menghabiskan kesendirian di tanah rantau dengan menonton film Baghban (Peladang-bhs melayu). Film berdurasi sekitar 120 menit ini dibintangi Amithabachan. Film ini dimulai saat Ayah bekerja sebagai akuntan bank memutuskan pensiun di usianya yang 70 tahun.
Sebagaimana seorang ayah dan ibu merasa sebentar saja mendampingi anak karena disibukkan mencari nafkah demi kesuksesan keempat anak laki-laki mereka yang kini sudah berumah tangga dan memberi mereka dua orang cucu. Mereka ingin menghabiskan masa akhir hidup mereka dengan tinggal bersama secara bergilir di rumah anak-anak mereka. Wajarlah orang tua ingin tinggal bersama anak, apalagi merekalah yang membiayai hidup sehingga bisa mandiri.
Keputusan besar ini ternyata tidak diapreasiasi positif oleh keempat anak dan tiga menantu mereka. Berbagai alasan diutarakan tapi tidak bisa menolak secara langsung atas keberatan mereka untuk menampung ayah ibunya. Hingga akhirnya diambil keputusan yang bisa membatalkan keinginan ayah.
Betapa kecewa dan terkejut Ayah mendengar hasil rapat penentuan siapa yang pertama akan menampung mereka. Selama enam bulan, ayah di anak pertama dan ibu di anak kedua, enam bulan berikutnya bergilir ke anak ketiga dan keempat. Seorang Ibu tentu berprasangka baik atas anak-anaknya sehingga menerima dan membujuk Ayah untuk menyetujui keputusan ini.
Hari pertama di rumah anak, ternyata tidak seindah harapan mereka. Baik Ayah maupun Ibu mendapat perlakuan tidak sepatutnya seorang anak kepada orang tuanya. Apakah seorang harus izin memakai telepon anaknya untuk menelpon istri sekaligus ibu mereka. Anak yang begitu sibuk dengan kariernya apakah tidak ada waktu untuk mendengar perkataan, nasihat atau permintaan ayahnya? Apakah salah jika Ibu menyampaikan pendapat untuk melindungi cucunya dari pergaulan bebas?
Anak yang mereka besarkan penuh cinta kasih, bahkan seluruh hidupnya dibalas dengan sikap dan perasaan beban. Kehadiran meraka dianggap masalah baru. Menantu yang direstui dan dipercaya menjaga anak mereka juga memiliki perilaku buruk jua. Kesedihan karena dipisahkan dengan teman hidup dirasa bisa terobati dengan cinta kasih anak, namun justru air mata kesedihan menahan rindu dan perlakuan buruk. Siapakah yang salah? Jika semua nasib orang tua kesepian di masa akhir hidup mereka sedangkan mereka memiliki banyak anak, tentu tidak akan ada pasangan suami istri yang ingin memiliki anak.
Suatu hari, saat itu saya sedang membantu Ibu melayani pelanggan di kios buah dan sayur milik Ibu. Entah tema pembicaraan apa sehingga tetangga kios sebelah kanan berceletuk
“Orang tua kaya itu anak ikut menikmati kekayaan, tapi kalau anak yang kaya maka orang tua menjadi pembantu”
Subhanallah, Ibuku yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, menjawab dengan lantang
“Seperti apa dulu anaknya, kalau anak saya tidak seperti itu. Anak-anak saya semuanya sholeh dan sholehah yang tau memperlakukan orang tua”
Film Baghban menggambarkan sebuah realita yang ada di masyarakat. Terkadang di tempat yang diharapkan cinta ternyata tak didapat, namun diganti di tempat lain. Bahkan anak angkat yang tidak terlintas dalam pikiran, justru dialah yang memenuhi hak-haknya sebagai orang tua dan memperlakukan dengan baik dan tulus.
Film ini memberiku pelajaran berharga bahwa inilah pentingnya pondasi agama dalam dua hal yaitu dalam mendidik anak dan dalam memilih pasangan hidup. Anak-anak sholeh dan sholehah sangat mengerti bagaimana memperlakukan Ayah Ibu mereka. Mereka akan menjaga setiap sikap, perkataan, prasangka dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyakiti orang tua. Bahkan di Al Qur’an jangankan bersikap kasar, berkata lebih keras saja dilarang. Rasulullah juga pernah berwasiat kalau harta yang kita miliki adalah milik orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan mereka.
Hak-hak istimewa ini wajib diperoleh orang tua, karena dari merekalah kita hidup. Apa jadinya jika orang tua tidak mau membesarkan dan mendidik kita?
Saat pasangan suami istri dipercaya dengan amanah anak, merupakan kebahagiaan luar biasa. Apapun akan mereka lakukan untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai orang tua yaitu membesarkan dan mendidik dengan cinta kasih tanpa pamrih suatu hari nanti anak akan membalas pengorbanan mereka. Anak dididik berdasarkan pemahaman yang mereka miliki, sesuai dengan harapan-harapan dan doa yang tak kenal lelah dipanjatkan. Terkadang mereka menjadikan anak sebagai sosok pelaksana ambisi, ada juga yang membiarkan anak karena merasa tugas mendidik sudah dilimpahkan ke sekolah pilihan yang dibayar mahal. Ada juga orang tua yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh kehati-hatian.
“Hendaknya bapaknya memilih ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al qur’an kepadanya” demikianlah perkataan Umar bin Khattab ketika ditanya hak janin.
Seorang pria akan memilih wanita yang tepat sebagai ibu bagi anak-anaknya kelak, bersama wanita pilihannya inilah mereka akan mengajarkan al qur’an. Apa yang mereka lakukan semata-mata karena memenuhi kewajiban sebagai orang tua untuk mendidik anak menjadi orang yang sholeh dan sholehah.
Hanya anak sholeh dan sholehah saja yang bisa memperlakukan orang tua dengan baik, yang tidak tersinggung ketika orang tua mencela, yang menerima dengan lapang hati setiap pendapat. Memenuhi kebutuhannya tanpa diminta, selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita mereka yang berulang-ulang. Memperlakukan mereka dengan lembut, sabar dan penuh perhatian sebagaimana memperlakukan anak-anak.
Anak sholeh tidak akan melimpahkan ketidakmengertian orang tua dalam mendidik sebagai alibi kekurangan mereka. Kekurangan orang tua tidak menjadi penghalang menunaikan hak mereka, tidak menjadi bahan pembicaraan. Kehadirannya bukan sebagai masalah baru yang harus diselesaikan dengan target waktu tertentu. Orang tua bukan tamu yang harus mengikuti aturan tuan rumah, tetapi ia adalah tuan di atas tuan rumah. Baginya tak berbeda rumahnya sendiri dengan rumah anaknya.
Film Baghban mengajarkan pada kita betapa sepinya orang tua di masa pensiun mereka. Betapa inginnya mereka bersama dengan anak-anak dikasihi, tanpa harus terpisah dengan belahan jiwanya. Sebagai anak kita harus bisa memahami itu, dan meneruskan mimpi-mimpi mereka. Semoga kita menjadi penyejuk hati orang tua.
                                                                                                            Batam, 11 Agustus 2013
                                                                                                            Vidya Putria Rawas