Ekonomi yang membahas hukum
penawaran dan permintaan biasanya membuatku bersemangat mengikuti pelajaran
terakhir, namun perasaanku gelisah memikirkan segala kemungkinan buruk yang
akan menimpaku begitu bel dibunyikan. Aku berharap waktu begitu lambat berjalan
memberiku kesempatan menemukan jalan keluar dari masalah ini. Setiap kali
kulirik Tomi, Topan, Erna maupun Nida mereka menatapku dengan penuh kemenangan
dan senyum kebahagian. Belum lagi tangan mereka menggoyang-goyangkan kantong
ajaib yang sejak jam istirahat menggusik ketenangan hidupku.
Hari yang paling menyebalkan
bagiku adalah hari apapun yang jatuh pada enam November yang merupakan alarm
peringatan umurku yang semakin bertambah. Walau seringnya berharap bertambah
kebahagian namun seringkali apa yang kuinginkan tidak terpenuhi. Seperti hari
ini yang mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu yang sama sekali tidak
ingin kuulangi.
Setahun yang lalu, aku menjadi
pusat pelampiasan emosi penghuni kelas
dua D. Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak dan melarikan diri, mereka
mengelilingiku dengan berbagai sampah sengaja ditaburkan di sekujur badanku.
Serbuk putih yang dikumpulkan dari papan tulis, serpihan kertas, dan sedikit
pasir sukses membuatku menjadi pusat perhatian saat perjalanan pulang. Waktu
itu kami dapat jatah masuk siang, dimana jam terakhir adalah jam setengah enam
yang membuatku mengurungkan niat membersihkan diri di kamar mandi sekolah
mengingat di sana tempat angker dan sudah sore mana sepi pula. Walau
kemungkinan ini akan terjadi lagi di siang hari tapi aku tetap tidak sudi
menjadi tempat pelampiasan mereka apalagi mereka sengaja menyisakan saus dan
kecap bekas siomay menu istirahat mereka.
Ide ini kudapat detik terakhir
menjelang pelajaran ditutup, secepat yang kubisa semua buku dan alat tulis
kumasukan ke dalam tas dan melihat ke bawah barangkali tali sepatuku diikat ke
meja dengan diam-diam oleh siapapun agar aku tidak lari. Akhirnya bel
dibunyikan, saat doa akhir belajar dipanjatkan yang dipimpin Andri tak lupa
teksnya kuganti “Ya Allah selamatkanlah 3X Aamiin”. Pada saat Pak Samsudin
beranjak dari singgasananya, dengan mantap kudahului dan tak lupa kuberi
senyuman termanis yang kumiliki ”Maaf Pa, saya duluan” yang disusul langkah
cepat menuju pintu. Beliau hanya menatapku bingung, disusul suara dibelakangku
“CURANG”. Kubalas tatapan kekecewaan mereka dengan langkah seribu menuju
gerbang sekolah khawatir mereka menyusulku dan menyerangku. Akhirnya aku lolos
dari lubang jarum ini.
Batam, 28 Juni 2013
Vidya Putria Rawas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar