Minggu, 27 Februari 2011

A = S ???
          Menjelang kenaikan kelas XI merupakan saat paling mendebarkan bagi remaja putih abu-abu, hati berdebar-debar karena penentuan pilihan mana yang telah disetujui sekolah. Keputusan ini tentu disesuaikan dengan standar nilai untuk masuk jurusan A (IPA) ataukah S (IPS). Sudah menjadi opini umum, baik dari kalangan murid atau orang tua yang mengatakan A lebih baik dari S. menjadi kebanggaan tersendiri ketika ditanya “kelas XI apa Ka?” “A2”.
          Kebanggaan inilah yang terkadang membuat seorang murid, tetap ngotot memilih A padahal secara akademis pas-pasan. Hal ini mengingatkan penulis akan pengalaman ketika SMA dulu, pada saat pekan pertama duduk di kelas 3, ada beberapa murid kelas A yang meminta sekolah memindahkannya ke kelas S, hal ini dikarenakan ternyata ia tidak mampu memahami materi bab pertama di pekan pertama. Tentu pihak sekolah tidak mengabulkan.
          Penulis sendiri termasuk anak2 kelas S. Penulis akui memang terdapat perbedaan cara anak A dan S dalam mengisi waktu jam istirahat. Setiap jam istirahat, anak2 A disibukkan dengan diskusi soal2 matematika, fisika atau kimia yang tidak terpecahkan di rumah. Sedang anak S, hanya untuk pelajaran Akuntasi saja, yang bikin kelas hening. Lainnya, kelas diisi dengan diskusi, tugas kelompok atau main basket (kebetulan lapangan basket terletak di deretan kelas S) sedang yang tidak main cenderung menonton sembari saling bertukar cerita saja.
          Anak2 A memang Penulis akui lebih rajin dan sabar. Tanpa keduanya tidak mungkin mereka mampu memecahkan soal yang antara contoh dengan latihannya berbeda. Mereka juga harus rajin mencari sumber referensi lain yang memiliki keanekaragaman contoh-contoh soal. Itulah mengapa, untuk bisa bertahan di kelas A haruslah rajin latihan soal, sabar mencari jawaban yang pas, berdiskusi dengan teman yang lebih paham.
          Hal ini berbeda dengan kelas S, asal rajin membaca buku dan mengamati kehidupan sosial, mampu memahami dan menganalisa suatu konsep, maka ia mampu menyelesaikan soal. Tapi, anak S harus memiliki pemikiran yang terbuka, karena tidak menutup kemungkinan hipotesanya akan dibantah karena penguasaan fakta dan penemuan solusi yang tidak tepat. Kemampuan menganalisa masalah, menguasai fakta, dan menemukan hipotesa yang tepat inipula yang menjadi bekal ketika kuliah di jurusan sosial. Maka jangan heran ketika kuliah di jurusan social, tugas-tugasnya tidak jauh-jauh dari bikin paper, makalah yang tentu harus memuat masalah tertentu, analisis dan penyelesaiannya secara ilmiah. Jangan lupa dilampiri kutipan dan daftar pustaka yang minimal lima judul buku yang berbeda dengan tahun yang terbaru.
          Saat ini bukan lagi masanya membenturkan A dan S, mana yang lebih baik, masa depan jurusan yang mana yang lebih cerah. Setiap anak adam, pasti memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk memilih mana yang tepat bagi mereka. A atau S bukanlah ukuran keberhasilan suksesnya masa depan seseorang.
          Apalagi sebagai seorang muslim, ukuran kesuksesan adalah mendapat ridha Allah dan diampuni segala dosa-dosanya. Adapun syarat untuk mencapai kesuksesan bias kita lihat kutipan terjemahan ayat di bawah ini
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (TQS Al Asr 1-3).
Bagi seorang muslim, ia akan senatiasa menyelaraskan semua amal perbuatannya sesuai dengan aturan Allah, atau dengan kata lain HALAL dan HARAM adalah standar ia melakukan suatu perbuatan. Kemampuan yang ia miliki entah itu sebagai ahli science atau ahli social, mereka akan menjadikannya sebagai sarana meraih keridlaan Allah semata. Itulah mengapa menjadi orang yang faham agama lebih utama dibanding ahli science atau ahli social tapi mendustakan agama. Kerena agamalah (Islam sebagai ideology) yang akan menuntun hidup agar sesuai dengan rambu-rambu kehidupan yang telah Allah tentukan.
          Apapun latar belakang ilmumu, tetap jadikan diri kita adalah orang yang faham agama. Untuk memperolehnya tentu dengan belajar dan menerapkannya. Karena kebahagian sejati tidak bisa diukur oleh materi. Apalagi menyandarkan pada kebahagian dunia yang fana. Hidup di dunia hanyalah sekejapan mata. Kampung akhirat adlah tempat kembalinya kita, disanalah kita akan ditentukan apakah kita berhasil atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar